Diambil dari B-Post
Rabu, 09-04-2008 | 01:00:32
BOCAH peneror Markas Kepolisian Daerah (Mapolda) Kalimantan Selatan (Kalsel) telah berada di rumahnya. Penyidik Kepolisian Kota Besar (Poltabes) Banjarmasin memperbolehkannya pulang, Senin (7/4) setelah sempat menjadikannya sebagai tersangka.
Sungguh terenyuh hati kita sebagai orangtua, ada anak berusia 11 tahun menjadi tersangka. Sedih di sini bukan berarti menyalahkan polisi. Polisi telah bertindak sesuai aturan. Aparat keamanan ini bahkan harus kita acungi jempol karena hanya dalam waktu satu hari dapat membongkar kasus tersebut.
Ini bukan karena kasus tersebut menimpa Mapolda Kalsel. Ini karena polisi di Kalsel memang punya banyak pengalaman dan cerita sukses membongkar kasus teror. Sebelumnya, polisi sukses membongkar kasus teror bom terhadap Sekolah Dasar Sabilal Muhtadin.
Uniknya, pelakunya juga seorang anak. Usianya bahkan baru sembilan tahun. Keduanya mengaku terinspirasi dari televisi.
Kenyataan ini hendaknya membuat kita sadar bahwa televisi memiliki pengaruh yang cukup besar. Pengaruhnya negatifnya begitu kuat hingga mampu membuat anak bertindak layaknya teroris besar.
Para orangtua terutama kaum ibu harus sadar, banyak sinetron dan berita entertainment yang tidak mendidik. Apalagi ceritanya itu-itu saja. Percintaan, wanita cantik yang selalu mendapat bencana dan secara tiba-tiba mendadak menjadi kaya. Banyak yang mirip cerita Cinderella atau Putri Salju.
Sedang infotainmentnya sama dari satu televisi ke televisi lain. Berita artis yang sudah keluar pagi, kembali ditayangkan sore, malam hingga keesokan harinya. Isinya pun cuma gosip dan gosip. Hampir tidak ada yang mengkhususkan diri pada prestasi dan karya para artis.
Oleh karena kurang kreatif atau kehabisan bahan hingga ulama seperti Abdullah Gymnastiar pun digosipkan. Sedemikian besar pengaruh negatifnya hingga para aktivis perlindungan anak menjadikan 23 Juli Hari Tanpa Televisi.
Masyarakat penggemar televisi memang tidak punya banyak pilihan. Sementara untuk berlangganan televisi kabel agar bisa memilih channel yang baik harus mengeluarkan uang.
Warga Kalsel kini punya beberapa stasiun televisi lokal. Ada Televisi Kalsel, BanjarTV, DutaTV dan masih akan ada lagi yang bermunculan. Namun seperti apa siaran mereka, apakah mendidik atau tidak, kita belum tahu. Semua masih mencari jati diri.
Harapannya, televisi lokal tidak ikut-ikutan televisi nasional. Televisi lokal harus memperhatikan sosial budaya urang Banjar dan tentu saja mendidik generasi penerus. Jika tidak, kehadiran televisi lokal justru akan merusak generasi muda. Sebagaimana diketahui, pelaku teror Mapolda Kalsel mendapatkan nomor telepon kantor tersebut dari televisi lokal.
Kita memang tidak dapat menghindari televisi. Televisi sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hidup kita. Sedari kita bangun pagi hingga tidur lagi, siaran televisi tak pernah habis. Bahkan saat kita terbangun jam berapa pun di waktu malam, kita bisa menikmati acara televisi.
Sekarang tinggal bagaimana kita mengatur anak dalam menonton televisi serta memberikan pengarahan kepada mereka. Dulu anak cuma dinasihati agar tidak nonton terlalu dekat, sekarang lebih dari itu, selain mengawasi jam dan lama menonton, juga mengawasi acaranya. Ini tidak hanya berlaku pada acara televisi, tetapi juga kebiasan anak bermain game, bersosialisasi dengan lingkungannya sehingga bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Dengan demikian mereka tidak main sembarangan, seperti meneror atau berbuat asusila. Jika perbuatan itu terjadi kita semua yang repot. Paling tidak polisi bingung memprosesnya. Mau dihukum salah, tidak dihukum salah. Jika kasus seperti ini kerap terjadi maka sebaiknya orangtuanya yang dihukum.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar
Posting Komentar